Langsung ke konten utama

Empat Keunggulan Transformasi dalam Islam



EMPAT KEUNGGULAN TRANSFORMASI DALAM ISLAM


Di dalam Kitab Al Fikrul Islam karyaTaqiyudin An-Nabhani dijelaskan bahwa Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang kehidupan yang membentuk pandangan hidup tertentu. Islam hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global (khuthuuth 'ariidlah), yakni makna-makna tekstual yang umum, yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia. Dengan demikian akan dapat digali (diistinbath) berbagai cara pemecahan setiap masalah yang muncul dalam kehidupan manusia.

Islam menjadikan cara-cara pemecahan problema kehidupan tersebut bersandar pada suatu landasan fikriyah (dasar pemikiran) yang dapat memancarkan seluruh pemikiran tentang kehidupan. Kaidah itu pun telah ditetapkan pula sebagai suatu standar pemikiran, yang dibangun di atasnya setiap pemikiran cabang (setiap pikiran baru yang muncul).

Islam datang dengan melakukan berbagai macam transformasi. Setidaknya ada 4 (empat) transformasi dalam Islam. Keempat macam transformasi itu dapat dijelaskan melalui uraian sebagai berikut:

PERTAMA, Islam mengubah pemikiran manusia: dari pemikiran yang dangkal ke pemikiran yang mendalam. Hal ini tercermin dalam aqidah Islam yaitu: pemikiran yang menyeluruh tentang alam dari sebelum dan sesudah kehidupan. Dari mana ia diciptakan, untuk apa ia diciptakan dan akan ke mana setelah penciptaannya. Dalam falsafah Jawa dikenal: "sangkan paraning dumadi". Prinsip asal dan tujuan akhir hidup manusia.

Semula orang hanya tahu hidup itu hanya sekedar: kerja, cari duit, cari makan dan lain-lain. Islam datang dengan mengubah pemahaman tentang kehidupan. Hidup ini hanya jembatan kehidupan yang setelahnya ada pertangggung-jawaban. Dunia sementara, sebentar tapi sangat menentukan. Maka, orang yang telah tercelup oleh Islam akan membuat hidupnya betul-betul bermanfaat bagi dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan hidupnya.

Sebelum paham, orang yang dikasih rezeki ia akan bangga tetapi ketika diuji kemiskinan ia penuh dengan keluh kesah. Setelah diberi pengertian tentang Islam, dia berubah total dalam menyikapi hal tersebut sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Kaya tidak menyombongkan diri, miskin tidak merasa terhina. Islam datang membawa pemahaman yang lebih baik dalam menjalani kehidupan.

Apa yang kita miliki ini tak lain dan tak bukan hanyalah anugerah dari Alloh untuk menguji kita apakah kita bersyukur atau ingkar (kufur). Siapa yg syukur ia sesungguhnya ia bersyukur kepada dirinya sendiri, dan berakibat untuk dirinya sendiri. Syukur itu berarti kita melaksanakan sesuatu perbuatan untuk menyenangkan pemberi nikmat.

Ada 2 level syukur, yaitu:
Level 1: ucapan terima kasih, "alhamdulillah".
Level 2: nikmat dipakai untuk memenuhi kewajiban taat, semakin tawadhu', tambah sholeh maka pemberi nikmat akan gembira dan sangat mungkin akan ditambah nikmatnya. Alloh berfirman dalam QS Ibrahim ayat 7:

وَإِذْتَأَذَّنَرَبُّكُمْلَئِنشَكَرْتُمْلَأَزِيدَنَّكُمْۖوَلَئِنكَفَرْتُمْإِنَّعَذَابِىلَشَدِيدٌ

(Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih").

Bila nikmat yang diberikan tapi tidak bersyukur, sesungguhnya Alloh tidak sedikitpun rugi. Justru manusialah yang merugi. Alloh bisa mencabut atau "ngelulu"/istidjrat hingga akhirnya menghancurkan kita. Di sinilah Islam mengubah pandangan hidup manusia tentang nikmat yang diperoleh manusia.

KEDUA, Islam mengubah standar manusia dalam perbuatan, yang semula hanya untuk kenikmatan diri sendiri menjadi berstandar halal atau haram.

Semula makan hanya sekedar untuk kenikmatan, lalu berubah menjadi standar halal atau haram. Tidak sekedar nafsu tetapi ada pertimbangan halal atau haram. Dalam perkara makan muslimin pun punya visi akherat. Jadi orang Islam itu orang yang CERDAS, tidak dungu (A-VIDYA) karena mampu mengendalikan dirinya. Perbuatannya atau nafsunya dikendalikan dan visinya jangka panjang (memiliki moderasi), setelah kematian.

Kalau manusia paham dan ia mempunyai visi jangka panjang, seseorang tidak akan korupsi. Ingatlah, Bangsa Arab semula tidqk dipandang dunia tapi ketika memiliki standar hidup, bahkan baru 10 tahun saja, bangsa ini bisa berhadapan tegak dengan bangsa Persia dan Romawi.

KETIGA: Mengubah pemahaman tentang bahagia. Apa itu bahagia?
Definisinya berbeda. Anak kecil dan orang tua berbeda. Anak bahagianya makan permen, ia tahu kalau makan permen bisa sebabkan gigi keropos. Pemikiran anak akan berlanjut, hingga pertanyaan: apakah di syurga bisa makan permen tetapi tidak bisa menyebabkan gigi keropos?

Bahagia sebelum Islam dimaknai sebagai pemuasan nafsu dan keinginan terpenuhi. Setelah Islam datang: bahagia itu adalah ketika mendapat ridho Alloh swt. Salman Al Farizi itu seorang yang miskin tetapi ia merasa bahagia. Abdurrahman bin Auf dengan uangnya diinfaqkan di jalan Alloh. Itu bahagia. Umar bin Khatab: yang semula gagah berani dan bangga patriotis, ia jadi pembela Islam yang tangguh karena untuk mecapai kebahagiaan sebagai umat yang satu tidak tersekat dinding nasionalisme atau pun chauvinisme.

Nasionalisme dan chauvinisme seringkali membuat kita abai terhadap PENDERITAAN sesama saudara muslim di negara atau belahan benua lainnya. Seberapa besar kita peduli dengan saudara kita di Palestina, Myanmar, Uyghur, Somalia, India dan lain sebagainya?

KEEMPAT, Mengubah interaksi manusia dari yang semula hanya mengejar manfaat dan diikat hanya sukuisme, nasionalisme dan atau negeri menjadi ikatan aqidah. Orang Islam itu merasa bersaudara dengan tidak peduli dari bangsa mana ia berasal.

Umatan wahidah. Negeri Madinah itu sejak awal terdiri dari dua suku bangsa yakni: Aus dan Khazraj kinflik lebih dari 200 tahun. Dengan datangnya Islam mereka bersatu dalam aqidah. Suku Aus dan Khazraj bersatu di bawah pimpinan Muhammad bin Abdullah. Tahun 621, sebanyak 10 orang suku Khazraj dan dua orang suku Aus menemui Nabi di Makkah dan menyatakan diri masuk Islam.

Setelah Nabi hijrah ke Yatsrib tahun 622, kota itu diubah namanya menjadi al-Madinah al-Munawwarah. Tidak ada konflik karena sektarian, kesukuan, cari uang dan lain-lain. Itulah Islam yang mampu mengubah peradaban manusia. Oleh karena itu dapat ditegaskan di sini bahwa: "Ketika sudah ada aqidah carilah kampung akherat tetapi jangan sampai lupa dunia karena dunia itu tempat menanam yang hasilnya akan dipetik di akherat".

Secara ideal, mestinya aqidah Islam itulah yang dapat menyatukan umat. Namun, ketika kita lepas dari aqidah maka kita akan merosot hingga terpuruk jatuh dalam peradaban buruk dan umat Islam dalam perpecahan. Perpecahan ini muncul karena ketidakikhlasan dan kebodohan.

Tentunya dalam hal ini, kita paham betul bahwa Imam Malik (guru Imam Syafii) dan Imam Syafii saling mencintai, apakah mereka tidak ada perbedaan? Ada, bahkan banyak perbedaan hingga mencapai lebih dari 7000 perkara. Tapi, apakah mereka saling bermusuhan? Tidak, bukan! Mengapa? Karena mereka memiliki keikhlasan dan memiliki ilmu, tidak bodoh, tidak dungu, bukan avidya dan tidak ANTI INTELEKTUALISME. Mereka tetap bersatu padu. Coba kalau mereka tidak ikhlas dan bodoh pasti mereka bercerai berai dan bahkan bermusuhan.

Pada artikel ini saya menegaskan kembali pentingnya persatuan umat Islam. Meski sunatullahnya kita terbelah terkumpul menjadi 73 golongan, tetapi tidaklah boleh golongan-golongan itu lalu membuat kita bercerai-berai bagai buih di lautan. Golongan-golongan yang beda sebenarnya memiliki ikatan yang sama yaitu: AQIDAH ISLAMIYAH. Ketidakikhlasan dan kebodohan ternyata berakibat serius dalam menghadapi perbedaan. Haruskah perbedaan mesti dipersekusi? Persekusi dan permusuhan terjadi karen ketidakikhlasan dan kebodohan...! Itu prinsip!

Terkait dengan kepentingan yang menyebabkan ketidakikhlasan ini dapat diambil hikmahnya dari kisah Rasululloh Muhammad mengirim surat ke Romawi. Dicari seorang yang tahu bahasa Romawi. Ketemulah Abu Sofyan dan kemudian ia bercerita kepada raja Heraklius tentang siapa Muhammad itu. Muhammad hanya menyuruh menyembah Alloh, bersilaturahmi dan lain sebagainya. Namun, mengapa Abu Sofyan yang tahu ilmunya tetapi memusuhi Muhammad? Jawabnya: Karena tidak ada keikhlasan, ia punya kepentingan duniawi sendiri (vested interst).

Islam itu bukan fiksi apalagi fiktif, melainkan real ADA, tetapi sayang sekali Islam tidak dipahami dengan baikz bahkan oleh pemeluknya sendiri. Setelah dipahami dengan baik belum tentu diterapkan dalam seluruh bidang kehidupannya. Inilah yang makin memperburuk kejatuhan peradaban Islam yang memiliki VISI JAUH KE DEPAN. FUTURISTIK! Anda mau tetap diam tanpa melakukan apa pun dalam rangka melakukan transformasi hidup agar sesuai dengan fitrah manusia?

Komentar