Langsung ke konten utama

Bila KHILAFAH Tegak Dimana Posisi Pancasila?



BILA KHILAFAH TEGAK, DI MANA POSISI PANCASILA?

(Ketika Wartawan ‘Diwawancarai’ Intel)

Oleh: Joko Prasetyo, angkatan pertama Jurnalistik Fakultas Dakwah UIN SGD Bandung

"Kali ini dia tidak menjawab retoris lagi seperti yang sudah-sudah. Tetapi menjawab dengan perlahan… “Kalau Indonesia jadi ibu kotanya, saya setuju.”"
_________________________________________
.
.
“Bila khilafah tegak, di mana posisi Pancasila?” tanya seorang lelaki berkumis baplang yang duduk di depanku pada Ramadhan tahun lalu di salah satu kantor tempatku bekerja di Jakarta.
.
Dia mengaku sebagai seorang intel berpangkat Sersan Satu, jauh-jauh datang dengan menempuh perjalanan sehari semalam dari teritorial kerjanya karena diperintahkan Komando Distrik Militer (Kodim) tempatnya bertugas.
.
Deg, seperti ada sesuatu yang menghentak jantungku di siang bolong itu. Tenggorokanku terasa kering, perutku keroncongan. Sedetik aku memutar otak memilih kalimat apa yang hendak dikatakan. Pasalnya, Rasulullah SAW dan para sahabat RA saja yang dijamin masuk surga tersebut sama sekali tidak mengenal istilah “Pancasila”. Salah-salah ngomong aku bisa dicyduk nih, pikirku dalam otak eh dalam hati.
.
Ia mengaku, Kodim kabupaten menugaskannya karena ada protes dari ormas tertentu lantaran salah satu jamaahnya mendapati sebuah buletin Jumat yang mengangkat suatu persoalan dengan menjadikan khilafah sebagai solusinya. Dari dalam tasnya, ia keluarkan buletin yang dimaksud serta menunjukkan kata “khilafah” yang muncul pada beberapa paragraf terakhir.
.
Aku pun manggut-manggut.
.
“Benarkan ini alamat buletinnya?” ujar intel tersebut.
.
“Benar,” jawabku.
.
.
MASALAHNYA DI MANA?
.
Aku pun mempertanyakan masalahnya di mana? Bukankah khilafah adalah ajaran Islam di bidang pemerintahan yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Dan memang masalah yang dipaparkan dalam buletin tersebut akar masalahnya berawal dari negara yang tidak menerapkan syariat Islam.
.
Sang intel pun menyebutkan sebentar lagi pilkada dan ia tak ingin terjadi benturan fisik di kabupaten tempatnya bekerja.
.
“Lho Mas, apa hubungannya dengan pilkada? Buletin itu kan hanya mendakwahkan khilafah ajaran Islam, dan tidak pernah memaksakan kehendak kepada yang tidak setuju. Dan setahu saya setiap rusuh pilkada tak ada kaitannya dengan orang yang mendakwahkan khilafah maupun buletin itu,” jawabku.
.
.
POSISINYA DI MANA?
.
Ia pun menyebut bahwa dirinya hanyalah ditugaskan menjaga wilayahnya dari segala kemungkinan yang dapat menimbulkan kerusuhan. “Masalah sekecil apa pun bila terjadinya di musim pemilu bisa menjadi pemicu,” jelasnya.
.
Aku pun menjelaskan bahwa buletin tersebut terbit semata-mata hanyalah mendakwahkan Islam dari A sampai Z, dari akidah, ibadah, muamalah sampai khilafah. Dalam Islam berdakwah hukumnya wajib. Sedangkan Islam merupakan salah satu agama resmi di negara ini. Dan para pemeluknya dijamin konstitusi untuk mendakwahkannya.
.
Kemudian intel tersebut melontarkan pertanyaan seperti yang sudah disinggung di awal tulisan ini: “Bila khilafah tegak, di mana posisi Pancasila?”
.
Deg, seperti ada sesuatu yang menghentak jantungku di siang bolong itu. Tenggorokanku terasa kering, perutku keroncongan, maklumlah lagi puasa Ramadhan he… he… Sedetik aku memutar otak memilih kalimat apa yang hendak dikatakan. Pasalnya, Rasulullah SAW dan para sahabat RA saja yang dijamin masuk surga tersebut sama sekali tidak mengenal istilah “Pancasila”. Salah-salah ngomong aku bisa dicyduk nih, pikirku dalam otak eh dalam hati.
.
Setelah berupaya menelan ludah tetapi tak ada yang bisa ditelan, aku pun menjawab. “Bila khilafah tegak, insya Allah semua sila dalam Pancasila akan tegak. Sebaliknya, dengan demokrasi tegaknya Pancasila jauh panggang dari api!” tegasku.
.
Sang intel mengernyitkan dahi.
.
.
REFERENDUM
.
Tak menunggu dia melontarkan pertanyaan, aku pun langsung memberikan contoh dari sila yang paling dekat dengan tugas tentara yakni Sila Ketiga: Persatuan Indonesia.
.
Aku pun menjelaskan, demokrasi tidak menjamin wilayah kita tetap utuh dari Sabang sampai Merauke (bila mengikuti terbit matahari mestinya dari Merauke sampai Sabang). Karena dalam demokrasi ada yang disebut dengan RE-FE-REN-DUM.
.
“Timor Timur (sekarang Negara Timor Leste) lepas karena apa? Referendum kan? Terlepas adanya kecurangan yang dilakukan UNAMET (semacam KPU-lah), diumumkan mayoritas rakyat Timor Timur ingin lepas dari Indonesia. Dan Timtim pun lepas begitu saja,” ujarku.
.
Sedangkan khilafah, tak mengenal istilah referendum. Jadi meskipun di satu wilayahnya ada mayoritas rakyat ingin memisahkan diri (BU-GHAT) tidak boleh dibiarkan lepas. Karena dalam Islam, bughat alias melepaskan diri dari negara khilafah atau dari kesatuan negeri-negeri Islam hukumnya: haram!
.
Khalifah wajib memerangi mereka yang angkat senjata sampai tidak memiliki kemampuan untuk melawan dengan senjata lagi. Bila tidak angkat senjata, hanya protes-protes keras saja gitu, ya cukup diajak dialog dicari akar masalahnya dan diberikan solusinya. Karena biasanya daerah yang ingin lepas lantaran merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah pusat.
.
.
BEGINI REFLEKSINYA
.
Mari kita refleksikan ke kasus Timor Timur. Bila pakai khilafah, Khalifah eh Presiden BJ Habibie dikatakan telah melakukan tindakan inkonstitusional ketika menyetujui dilakukannya referendum. Dan semestinya, Amirul Jihad, hmm maksudnya, Panglima ABRI Jenderal Wiranto, orang pertama yang mencegah Pak Habibie memutuskan tindakan yang akan memecah belah negeri Islam terbesar sedunia ini. Tapi, berdasarkan demokrasi, Pak Wiranto justru dianggap inkonstitusional bila menghalangi Pak Habibie melaksanakan referendum.
.
“Nah lho? Bagaimana Mas? Sepakat dengan pendapat saya?” tanyaku.
.
Sang intel berkumis baplang bergeming.
.
Aku pun menepuk bahunya sambil berkata, “Bagaimana…?”
.
“Maaf, posisi saya di sini bukan untuk berpendapat tetapi hanya menjalankan tugas,” jawabnya sangat diplomatis.
.
“Perlu contoh lain? Perlu contoh untuk sila yang lain?” tanyaku.
.
Ia pun menjawab “tidak perlu” kemudian berkata:
.
“Tapi kan Mas, Pancasila itu kan KESEPAKATAN para ulama. Sebelum merumuskan, mereka berdoa dulu dan mereka tidak gila kekuasaan. Itu bukan kata saya lho, saya hanya menyampaikan alasan dari… (menyebut nama ormas tertentu),” ungkapnya.
.
“Lho kan tadi sudah dijelaskan, semua sila Pancasila ini insya Allah akan tegak dengan khilafah!?” ujarku.
.
Tanpa menunggu dia menjawab, aku berkata lagi, sebenarnya tidak pas membenturkan Pancasila dengan khilafah. Tidak aple to aple. Pasnya itu, khilafah dengan demokrasi, karena sama-sama sistem pemerintahan. Sedangkan kalau mau memaksakan membenturkan Pancasila ya benturkan saja dengan Islam, karena sama-sama dasar negara.
.
Benturan dasar negara tersebut pernah terjadi di era Presiden Soekarno pada tahun 1955-1959 dalam sidang Konstituante (sekarang DPR). PNI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik bahkan P-K-I, Partai Komunis Indonesia! Semua berkumpul di blok Pancasila. Lawannya adalah Masyumi (Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan ormas Islam lainnya), Partai NU, dan partai Islam lain di blok Islam. Mereka adu argumen apakah “Pancasila” atau “Islam” yang akan dijadikan dasar negara untuk Indonesia ke depan.
.
“Jadi tidak paslah kalau membenturkan Pancasila dengan khilafah,” aku kembali menegaskan.
.
Namun yang jelas, khilafah itu ajaran Islam. Diperintahkan dan dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabat RA. “Apakah Rasulullah dan para sahabat yang dijamin masuk surga itu tidak berdoa sebelum menegakkan khilafah? Apakah Rasulullah SAW dan para sahabat itu haus kekuasaan?” tanyaku retoris.
.
Mas Intel hanya diam mendengarkan. Tidak mengiyakan tidak pula menolak.
.
“Bila ada dua kesepakatan yang berbeda, kesepakatan Rasulullah SAW plus para sahabatnya di satu sisi, di sisi lain kesepakatan ulama kekinian, siapa yang harus kita rujuk? Yang satu dijamin masuk surga yang satunya lagi… ah sebenarnya kan itu bukan kesepakatan para ulama Mas tetapi jalan tengah yang dipaksakan Soekarno dan kelompok sekulernya! Mas mau pilih mana?” tegasku.
.
Bahkan para ulama, sebelumnya (1924-1926) mendirikan Komite Khilafah dalam rangka memenuhi undangan ulama Mesir untuk membaiat khalifah yang baru, ketika merespon runtuhnya Khilafah Utsmani. Dalam Komite Khilafah tersebut ada Syarikat Islam, Muhammadiyah, ormas-ormas cikal bakal NU, dan lainnya.
.
Lagi-lagi dia bilang tidak berpendapat, kedatangannya hanya menjalankan tugas.
.
.
KENAPA ENGGAK INTEL JAKARTA?
.
Kemudian Aku mempertanyakan mengapa yang datang tidak intel yang ada di Jakarta saja. Ia pun menyebutkan dua alasannya:
.
“Setelah tamat kuliah Pendidikan Agama Islam di… (dia menyebut salah satu kampus Islam di Jakarta) saya ditugaskan di Jakarta. Jadi saya tahu Jakarta. Kedua, maaf ya Mas, bukan apa-apa, di Jakarta itu, sekali lagi maaf, intel-intel di Jakarta itu pemahaman Islamnya kurang, jadi khawatir tidak nyambung kalau menangani masalah seperti ini.”
.
Aku kembali menelan ludah, tapi ludahnya tak ada.
.
Di akhir obrolan yang berlangsung dari pukul 13-an sampai 14-an tersebut sang intel meminta berfoto bersamaku, kemudian mencatat biodataku. Dia pun terheran-heran ketika menyangkut posisiku di buletin.
.
“Saya tidak sebagai siapa-siapa di buletin tersebut karena bukan pengurusnya Mas…” jawabku sambil mengulum senyum.
.
“Lho mengapa ada di sini?” tanyanya heran.
.
“Saya wartawan tabloid, sekarang lagi deadline, saya di sini melakukan proofreading,” jawabku.
.
“Tabloid dan buletin satu perusahaan?”
.
“Beda!”
.
“Kok deadline di sini?”
.
“Biaya kontrak mahal Mas, apalagi di Jakarta. Kalau urunan kan lebih murah.”
.
“Ooh…”
.
Karena pengurus buletin tidak di lokasi, akhirnya aku pun menyerahkan nomor telepon redaksi buletin tersebut agar sang intel menghubunginya langsung.
.
.
AKHIRNYA SANG INTEL BERPENDAPAT
.
Tak lama kemudian dia pun pamit. Aku langsung mengambil tiga buah tomat dan tiga buah jeruk yang tersaji di meja kerjaku (jangan menyangka yang tidak-tidak, aku tetap puasa kok, kalau deadline aku memang menginap dua hari dua malam di kantor. Buah-buahan itu biasa kumakan sambil proofreading, kecuali pas puasa tentunya).
.
“Ini Mas, untuk takjil buka puasanya…” ujarku kepadanya sambil tersenyum dan dibalas senyuman.
.
Oh iya, hampir terlewat. Sebelum menanyakan biodataku, sempat kujelaskan bahwa ibu kota khilafah itu berpindah-pindah. Pas di zaman Rasulullah SAW ibu kota Negara Islam pertama di dunia itu di Madinah bukan di Mekah karena penduduk Madinahlah yang menyambutnya sedangkan Mekah menolak dakwah Rasul. Kemudian ke Kufah, Baghdad hingga terakhir di Turki.
.
“Yang belum itu di Indonesia Mas, kalau kita berjuang bersungguh-sungguh mendukung tegaknya khilafah, disambut baik oleh rakyat dan didukung penuh atasan-atasannya Mas… (kusebut namanya), tak menutup kemungkinan Indonesia menjadi ibu kotanya. Jadi, persatuan bukan hanya dari Merauke sampai Sabang tetapi diteruskan lagi hingga ke Maroko! Bagaimana Mas?” tanyaku.
.
Kali ini dia tidak menjawab retoris lagi seperti yang sudah-sudah. Tetapi menjawab dengan, perlahan… “Kalau Indonesia jadi ibu kotanya, saya setuju.”
.
Allahu Akbar![]

Depok, 26 Ramadhan 1440 H | 31 Mei 2019

Komentar